Search In Google

Sabtu, 25 April 2009

Masa Depan Antartika Ada di Tangan Kita




Duh, sedih banget dengan keadaan bumi kita yang semakin tambah rusak aja. Apalagi kabarnya pencairan lapisan es kutub, ternyata berlangsung lebih cepat dari perkiraan kita.


“Hal tersebut akan memproduksi level laut kian bertambah,” tukas Church dalam penelitian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dirilis Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).

Rintoul mengatakan, penemuannya tersebut menambah kekhawatiran dampak yang ditimbulkan efek rumah kaca dan pemanasan global terhadap lautan selatan yang berada juga disekitar Indonesia.

Pada bulan lalu aja, ilmuwan Australia sudah mengingatkan kalau air yang mengelilingi Antartika menjadi lebih asam karena menyerap karbondioksida yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar yang kita lakukan setiap hari.

Nah, tingkat keasaman air laut yang meningkat tadi memengaruhi kemampuan plankton menyerap karbondioksida dan mengurangi kemampuan laut mengurangi efek rumah kaca di dasar laut.

So guys, berbagai bencana yang suka kita derita belakangan ini pastinya berhubungan dengan prilaku yang nggak akrab dengan lingkungan. Tentunya semua itu bisa kita hindari, asal kita bisa lebih peduli dengan alam.

Selengkapnya...

Perjalanan Masih Panjang


Alhamdulillah, akhirnya pecah juga tuh bisul ya? Hehehe… iya kita anggap aja Ujian Nasional (UN) sebagai ‘penyakit bisul’. Sebab, rasa-rasanya persiapan sebelum UN udah bikin otak kita nggak bisa kerja nyantai, pikiran dibuat pusing, perasaan nggak tenang, emosi nggak stabil. Kadang semangat, kadang melempem. Ditambah lagi suasana tegang pas hari H Ujian Nasional SMA yang baru aja lewat pekan kemarin. Wuih, selama ujian tiga hari itu kamu pasti berkecamuk dengan banyak pikiran dan perasaan. Maka, setelah UN berlalu, rasanya lega dan plong. Kayak pecah bisul tuh (baksound: bagi yang udah pernah ngerasain bisul, apalagi tuh bisul di pantat. Wah!)


Guyz, kita semua berdoa semoga saja apa yang kamu harapkan dan inginkan terkabul ya. Tentu saja keinginan yang baik-baik: kamu semua lulus UN. Insya Allah. Namun, perlu diingat juga lho bahwa lulus UN tuh bukan akhir dari segalanya. Sehingga kamu nggak bisa bebas gitu aja. Masih ada babak baru kehidupan yang bakal kamu jalani. Bisa nerusin kuliah, dan itu berarti kudu ikut seleksi lagi. Bisa pula terjun ke dunia kerja atau wirausaha. Begitu juga buat kamu yang kebetulan belum berhasil lulus, tetap sabar dan ambil hikmahnya aja. Selama langit belum runtuh dan bumi belum terbelah, kamu masih punya kesempatan untuk maju, agar hidup kamu tetap memiliki harga dan bermakna. Setuju kan?

Sobat muda muslim, tulisan gaulislam kali ini sekadar ingin mengajak kamu evaluasi diri sekaligus menggali potensi yang kamu miliki agar terus termotivasi untuk maju dan bangkit dengan kemampuan yang kamu miliki. Mudah-mudah ini membantu kamu untuk bisa mengubah cara pandang kamu tentang masa depan dan juga tentang pendidikan dan agar tradisi belajar menjadi lebih progresif.

Maklumlah, banyak cara pandang di tengah masyarakat yang mengukur kesuksesan seseorang semata dari tingkat pendidikannya, dari nilai akademiknya, dari status sosialnya. Padahal, nggak selalu dan nggak otomatis kalo ada yang nilai akademiknya pasti sukses hidupnya. Belum tentu. Wong, bertebaran alias pabalatak sarjana yang baru lulus tapi nggak punya pekerjaan, sementara di antara mereka banyak yang nilai akademiknya bagus dan dari kalangan berada. Jadi, tingkat pendidikan dan nilai akademik serta status sosial bukan jaminan mutlak hidup bisa sukses.

Oya, saya nulis gini bukan nakut-nakutin atau mengabaikan tingkat pendidikan dan nilai akademik. Nggak juga. Hanya saja ini bicara dalam konteks kesuksesan. Tentu aja, yang ideal tuh menurut ukuran logika kita adalah pendidikan tinggi, nilai akademiknya bagus, status sosialnya di level atas dan hidupnya sukses. Dunia dan akhirat pula. Wah, itu keren banget. Tapi sekali lagi, nggak selalu begitu kenyataannya.

Geber terus motivasi dan kreativitasmu
Sobat, setelah Ujian Nasional tingkat SMA kamu ikutin, tentu saja kamu semua berharap untuk lulus. Itu wajar dan sah-sah saja. Manusiawi kok. Pengen dapet nilai bagus juga wajar karena dengan begitu kita jadi bisa ngukur kemampuan diri dari angka-angka yang didapat itu. Namun, nilai ujian yang bagus dan kelulusan kamu nggak bisa ngejamin juga untuk kemudian bisa menikmati pendidikan di perguruan tinggi, yang—selain harus ikut seleksi masuk lagi, juga bakal tambah biaya untuk nerusin pendidikan di tempat tersebut.

Maka, kini saatnya kamu dan kita semua berpikir lebih realistis dan pandai mencari peluang untuk bisa tetap esksis meskipun kenyataan pahit—tidak lulus UN atau nggak bisa nerusin studi, plus nggak dapet kerjaan dengan background pendidikan yang kamu miliki—tidak menjadikan kamu putus asa dan bahkan buntu berpikir. Padahal, dunia tak selebar daun telinga, Bro. So, di sinilah perlunya motivasi dan kreativitas yang kuat untuk tetap bisa bertahan hidup dan menghasilkan karya dan prestasi demi kemaslahatan diri dan orang lain. Bisa kok. Insya Allah.

Bro, kadang dalam hidup ini tak selamanya kita bisa memilih. Kalo bisa milih sih, pasti yang baik-baik inginnya semua diraih. Tapi, sayangnya hidup nggak selalu begitu. Kadang, atau bahkan seringkali kenyataan pahit yang kita terima. So, sepahit apapun, kenyataan itu harus kita telan sambil berusaha untuk bangkit agar tak dijajah oleh kenyataan pahit tersebut. Di sinilah perlunya motivasi dan kreativitas kita untuk bisa terus bertahan sambil berusaha mengubah kenyataan hidup menjadi lebih baik.

Banyak kok, mereka yang tetap bisa berjalan dengan kepala tegak meski tingkat pendidikannya paling tinggi mentok di sekolah lanjutan tingkat atas atau malah cuma finish di tingkat SD dan SMP. Tapi soal kemampuan di bidang tertentu yang dimiliki, mereka bisa bersaing kok dengan orang yang ngenyam pendidikan tinggi. Nah, jadi yang penting adalah semangat belajar dan kreatif. Dan, yang namanya belajar dan berkreativitas tak harus mengenyam pendidikan tinggi dan “makan” bangku sekolahan. Tidak selalu. Betul itu.

Buktinya? Sekadar contoh aja ya. Saya pernah bekerjasama dalam sebuah tim untuk mengelola media massa, dan salah seorang di antara kami yang mengerti tentang komputer dan teknologi informasi kalo nggak salah pendidikan SMP-nya aja nggak kelar, gitu. Boleh percaya boleh tidak, tapi itu kenyataannya.

Sebabnya apa dia bisa memiliki kemampuan itu? Karena ia banyak belajar dari siapa pun secara informal dan motivasinya untuk belajar sangat tinggi ditambah kreatif sehingga ilmu yang didapat itu langsung dipraktikkan. Bahkan lucunya, dia mahir bahasa Inggris tanpa belajar di sekolah dan tempat kursus khusus, doi hanya sekadar nonton film berbahasa Inggris dan mencoba mencocokkan teks terjemahan yang ada dengan gerak mulut pemain film tersebut dalam berbicara. Unik juga ya? Itulah belajar yang mudah dan murah.

Oya, kalo boleh sedikit berbagi sih, saya juga termasuk yang “anomali” menurut sebagian orang. Katanya sih begitu. Setidaknya kalo saya ngisi acara jurnalistik atau kepenulisan, padahal menurut mereka latar belakang pendidikan saya nggak match dengan kemampuan menulis saya yang lebih banyak menyoroti dunia remaja dari sudut pandang Islam. Yup, memang waktu pertama menulis beberapa buku itu, pendidikan yang saya cantumin di biodata adalah alumnus sekolah kejuruan kimia. So, nggak nyambung banget kata mereka. Tapi, saya sih merasa biasa-biasa aja (ciee.. kagak maksud nyombong, Bro!).

Adapun kemampuan menulis dan mengkaji Islam yang saya miliki karena saya belajar sendiri secara informal, dari siapa pun dan dari buku siapa pun. Inspirasi yang saya dapatkan langsung saya praktikkan. Motivasi saya untuk bisa menulis cukup kuat dan saya berusaha untuk kian kreatif dengan setiap ilmu atau keterampilan baru yang saya dapatkan.

So, kamu semua bisa melakukan hal sama atau bahkan lebih baik lagi dari saya dan teman saya itu. Kuncinya di motivasi dan kreativitas. Oya jangan lupa, kita harus ikhlas dalam belajar dan semata mengharap ridho Allah. Tiada kesuksesan tanpa izin dari Allah Swt. Oke?

Tentukan tujuan hidup, Bro
Menentukan tujuan hidup untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat sebenarnya bisa sejak kecil ketika kita sudah mulai ngerti. Prinsip dan pemahaman itu ditanamkan kuat dalam benak kita. Namun, insya Allah belum terlambat jauh kalo sekarang kamu mulai berpikir ke arah sana. Sebab, kamu pasti butuh pijakan dan arah jalan hidup. Setelah lulus sekolah tingkat lanjutan atas umumnya cuma dua pilihan. Nerusin studi sampe ke jenjang pendidikan tinggi atau langsung terjun ke dunia kerja. Meski banyak pula yang akhirnya cuma nongkrong nggak punya aktivitas yang bermanfaat banyak untuk diri dan orang lain.

Boys and gals, semangat belajar harus tetap ada di jiwamu, sebab dalam hidup ini memang senantiasa belajar. Pilih bidang keahlian yang kamu sukai dan minati dengan sangat kuat. Mulailah memoles diri dengan banyak belajar agar kemampuanmu makin mahir. Sambil tentunya mempraktikannya dengan benar dan baik. Kalo kamu ingin terjun ke dunia usaha dengan berjualan kecil-kecilan, silakan nikmati dan terus berusaha untuk mengembangkannya. Jika kamu berminat terhadap dunia tulis-menulis, belajarlah dengan tekun karena kemahiran—apalagi kesuksesan tidak ditempuh dengan instan.

Oya, jangan lupakan juga kehidupan masa depanmu yang abadi, yakni di akhirat. Maka, cari deh peluang usaha dan keterampilan yang halal dan bisa mendatangkan berkah. Kalo bisnis ya jangan curang, jangan menipu. Jika menulis, menulis untuk syiar kebenaran Islam. Kalo punya minat mempelajari komputer dan internet, hasilnya dipraktikkan untuk mendakwahkan keagungan Islam. Hmm… insya Allah itu akan mendatangkan pahala dan manfaatnya bisa dirasakan banyak orang. Sip kan?

Lagi pula, hidup di dunia ini cuma sementara dan cuma diberi kesempatan sekali. Manusia nggak ada yang abadi hidup di dunia dan nggak ada yang udah mati balik lagi. Maka, mumpung masih diberi waktu untuk hidup, kita selalu bergerak untuk belajar tentang kebenaran dan kebaikan dalam menempuh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kamu pasti bisa deh. Dunia dan seisinya bukanlah tujuan akhir. Ya, sebatas tempat istirahat saja. Tapi tentu harus nyaman dan bisa membuat kita bahagia. Sementara akhirat adalah tujuan abadi dan harus nyaman dan bahagia juga di sana. Amalan kita saat ini yang menentukannya.

So, cobalah beberapa tips berikut. Pertama, luruskan niat dalam beramal, yakni ikhlas karena Allah Swt. memang mewajibkan kita beramal dengan benar dan baik. Kedua, pelihara terus semangat belajar meski udah lulus sekolah dan nggak mengenyam lagi pendidikan formal. Belajar tiada henti deh untuk mengetahui bidang keahlian apa pun. Siapa tahu bisa digunakan kelak dan membantu kehidupan kita. Ketiga, kuatkan motivasi dan asah terus kreativitas agar kemampuan kita makin hebat. Keempat, belajarlah dengan keras dan sabar. Kelima, teruslah berinovasi untuk mencoba hal-hal baru. Siapa tahu berguna pada esok hari.

Ayo, tetap semangat belajar meski ujian nasional udah berlalu. Dan, jangan bengong aja kalo pun kemudian kamu nggak nerusin kuliah atau bagi kamu yang dari sekolah kejuruan belum juga dapetin pekerjaan yang cocok dengan bidang keahlian yang kamu pelajari di sekolah. Jangan putus asa. Insya Allah masih banyak peluang usaha untuk bisa sukses. Siapa tahu ‘pintu’ rejeki kamu memang ada di bidang keahlian lain yang bertolak-belakang dengan keahlian yang kamu pelajari di sekolah atau kuliah. Jadi, teruslah belajar tak pernah henti. Semangat!
Selengkapnya...

Sabtu, 18 April 2009

Penemuan Terbaru Orang Utan di Hutan Kalimantan



Di Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, ditemukan jenis orang utan yang belum dikenal sebelumnya. Sebenarnya ini bukan jenis baru, tegas Nardiyono dari The Nature Conservancy, sebuah LSM yang aktif dalam perlindungan alam di kawasan itu.
Bagaimana cerita ditemukannya hewan yang mirip manusia itu? Ikutilah keterangan peneliti yang berpengalaman langsung menemukan jenis hewan yang terancam punah ini kepada Radio Nederland Wereldomroep.
Setelah diberi informasi oleh masyarakat tentang adanya orang utan, Nardiyono segera mengecek kebenarannya. Rombongan NGO Pelestarian Lingkungan ini menemukan sarang orang utan sebanyak dua ratus sembilan belas.

Nardiyono: "Terus selama survei saya sempat ketemu dengan tiga orang utan. Hari pertama saya ketemu orang utan betina dengan anak. Dan hari berikutnya saya ketemu orang utan jantan. Kebetulan saya sempat ngambil fotonya dan bikin filmnya, walaupun pendek."

Bukan jenis baru
Nardiyono menambahkan, yang ditemukan ini bukan jenis orang utan baru. Ini adalah jenis orang utan yang sudah ada sejak zaman dahulu kala.

Masih sulit untuk menemukan populasinya. Salah satu metodenya adalah dengan menghitung sarang. Sebelumnya perlu juga diteliti tentang umur sarang, tandas Nardiyono.

Nardiyono: "Jadi sebelum kita ketahui umur sarang orang utan di suatu kawasan, akan sangat sulit memperkirakan atau menganalisa jumlah populasi yang ada."

Di Indonesia jumlah hutan makin sedikit sehingga habitat orang utan juga semakin berkurang. Dan ini merupakan keprihatinan besar para pencinta lingkungan.

Nardiyono: "Ya itu sebetulnya salah satu tantangan bagi kita semua untuk melestarikan beberapa kawasan hutan yang masih tersisa, baik di Kalimantan Timur pada khususnya maupun di seluruh Indonesia pada umumnya."

Menyelamatkan habitat

Pegiat LSM lingkungan hidup ini menambahkan, bahwa fokus mereka adalah mencoba menyelamatkan habitatnya.

Nardiyono: "Dengan selamatnya kawasan yang masih bagus, harapan kita juga, kita akan menyelamatkan kehidupan yang ada di dalamnya termasuk orang utan dan beberapa satwa lainnya tentu saja."
Salah seorang yang aktif dalam penelitian ini adalah seorang pakar Belanda Eric Meijaard. Ia ikut serta di The Nature Conservancy ini sejak tahun 2005.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang ilmuwan ini, silakan dengarkan wawancara selengkapnya di sini.

Selengkapnya...

Wajah Lain Pendidikan Indonesia




T
entu kita masih ingat apa yang terjadi dengan Jepang setelah perang dunia kedua? Infrastruktur hancur dan perekonomian bobrok! Bom atom yang meluluhlantahkan Hirosima dan Nagasaki bukanlah sekedar bom yang menewaskan jutaan orang atau membuat lumpuh beberapa generasi, tetapi bom tersebut mampu menyadarkan puluhan juta umat manusia tentang bahaya kekerasan dan peperangan. Bagi bangsa Jepang, itulah awal kebangkitan mereka.

Semangat Bushido dan Harakiri bukan lagi semangat untuk rela berkorban demi negara dalam perang, tapi lebih kepada semangat untuk dapat mendidik generasi selanjutnya agar menjadi individu-individu yang handal dan cerdas. Percepatan pengembangan pendidikan yang terarah dan terencana membuat Jepang mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Bagaimana dengan negara ini? Anggaran pendidikan sebesar 20% dari jumlah APBN pun masih sangat sulit di implementasikan apalagi menambah persentasenya, terdengar hanya seperti mimpi disiang bolong. Padahal, sektor pendidikan merupakan salah satu hal terpenting yang membuat sebuah negara dapat berkembang ke arah yang lebih baik.

Memang, terdapat beberapa kemajuan mengenai perkembangan pendidikan di Indonesia, seperti di bebaskannya uang pendidikan dalam tingkatan wajar 9 tahun yang mampu meningkatkan kualitas manusia Indonesia, walaupun dalam impelmentasinya terjadi banyak penyimpangan. Jika kita amati lebih lanjut, perkembangan tersebut belum secara signifikan memajukan pola pikir manusia-manusia Indonesia. Sekolah yang di plot sebagai wadah untuk mendidik dan mengarahkan manusia-manusia Indonesia untuk lebih berfikir maju dan positif ternyata belum mampu berjalan sesuai rencana.

Apa yang terjadi dengan sekolah-sekolah di Indonesia? Apakah sekolah memang digunakan untuk mencerdaskan manusia-manusia Indonesia atau hanya sebagai perusahan jenis baru yang digunakan untuk meraup banyak keuntungan? Pernahkan anda membayangkan bagaimana seorang Ivan Illich “Professor dan Rohaniawan yang mendirikan centre for intercultural documentation” menulis sebuah buku “Bebaskan Masyarakat dari belenggu sekolah”? Menantang kita berfikir lebih mendalam mengenai apa itu sekolah! Terkesan untuk setuju dengan salah satu pendapatnya, “Sekolah adalah agama baru dunia dan sekolah merupakan pasar kerja yang berkembang paling pesat di dunia”, hampir seluruh orang tua mengamini bahwa sekolah adalah tempat paling tepat untuk mendidik anak-anak mereka. Sedangkan bagi para pemodal, hal ini merupakan sebuah lahan subur untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mengindahkan kualitas dan standar sebuah sekolah. Gambaran mengenai kualitas sekolah-sekolah di Indonesia belumlah sebaik yang di harapkan, hal ini sangat berhubungan dengan permasalahan besar yang dihadapi bangsa ini.

Belum hilang dari ingatan kita masalah baru yang muncul dalam dunia pendidikan kita, pro dan kontra standar kelulusan bagi siswa SMU dan sederajat!. Generasi penerus yang nantinya akan menjadi tumpuan bangsa ini sudah dijadikan komoditas politik oleh para manusia yang menanggap dirinya “Hero atau bahkan Idealis”. Sehingga bukannya solusi yang didapat, malah masalah baru kian terbuka dan muncul kepermukaan akibat pemberlakuan standar kelulusan. Memang ditemukan bahwa beberapa siswa yang dianggap berprestasi di kelas tidak lulus dalam ujian nasional dan sayangnya, hal itu dijadikan suatu pembenaran bahwa standar yang ditetapkan oleh pemerintah tidaklah sesuai dan bagus. Sebagian orang menilai, belajar adalah serangkaian proses sehingga tidak bisa dinilai dalam waktu beberapa jam. Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah kita tidak butuh standar untuk menilai sebuah proses? Di sisi lain pemberlakuan standar kelulusan “4,26” yang dianggap tinggi “padahal jika berkaca dengan negera lain, khususnya di Asia Tenggara, standar tersebut sangatlah kecil” secara signifikan mampu menaikan tingkat rata-rata kelulusan.

Bahkan, disisi lain standar ini dijadikan komoditas cari muka bagi para pejabat kota atau kabupaten!! Ironis memang, dunia pendidikan yang seharusnya tempat belajar yang sesungguhnya, tempat pembentukan karakter manusia-manusia masa depan yang jujur, cerdas kreatif dan inovatif harus dinodai oleh politik busuk orang-orang yang tak bertanggung jawab. Korbannya adalah sekumpulan orang yang di sebut para pembelajar! Mentalitas dan emosi mereka yang kebanyakan masih labil terpaksa harus di goyangkan dan dipermainkan, akibatnya Suicide dianggap jalan terbaik. Dengan kata lain, sebaik apapun kebijakan yang diberlakukan dan diterapkan dinegeri ini tak kan pernah bisa terealisasi jika semuanya selalu dipolitisi! Kapankah kita bisa bersepakat bahwa yang kita lakukan hanya untuk kemajuan Pendidikan Indonesia dan kemaslahatan bersama.

Belum usai masalah diatas, kejadian yang memalukan kembali terjadi. Mahasiswa yang bisa disebut mahanya para siswapun sulit untuk diharapkan mampu menjadi panutan bagi masyarakat. Aksi-aksi dan tindakan progresif revolusioner yang selama ini dibangun oleh para mahasiswa seakan hilang. Hal tersebut berbanding lurus dengan penilaian masyarakat tentang Mahasiswa yang semakin memburuk.

Lihatlah apa yang terjadi hari ini, perang antar teman kembali terjadi “mahasiswa versus mahasiswa”, antara mahasiswa yang pro rektorat dan kontra rektorat di salah satu universitas yang nantinya menghasilkan para guru. Miris hati kita, jika melihat kelakuan mahasiswa seperti itu!! Apa yang bisa diharapkan dengan generasi yang lebih mengutamakan kekerasan? TIDAK ADA!! Bayangkan jika mahasiswa-mahasiswa tersebut menjadi guru dan mengajar generasi penerus bangsa ini, bagaimanakah hasilnya? Apakah revolusi selalu membutuhkan darah segar agar dapat terealisasi? Kejadian di salah satu kampus di negeri ini sebenarnya bisa diredam jika kedua belah pihak mampu menahan ego, tenang dan bersikap lebih bijaksana. Duduk bersama dengan kepala dingin dan pikiran yang cerdas guna menemukan solusi yang dapat diterima kedua belah pihak adalah jawabannya. Tanpa kekerasan dan tanpa darah. Sudah cukup bangsa ini menderita dengan darah-darah saudara kita yang terkena musibah bencana alam. Sudah cukup bangsa ini menderita dengan konflik bersenjata di beberapa daerah, yang insya Allah akan segera berakhir.

Entah akan jadi seperti apa bangsa ini nantinya, jika keadaan ini terus berlanjut. Ibarat sebuah bola yang berputar, semuanya akan terus berulang dan merasakan hal yang sama; semuanya tak kan berakhir jika tak ada usaha untuk keluar dari lingkaran, semuanya tak kan berakhir jika tak ada kearifan untuk selalu saling membantu dan mengisi kekurangan, semuanya tak kan berakhir jika hanya mengedepankan kekerasan dan emosi, semuanya tak kan berakhir jika selalu di politisi “mencari kesalahan orang tanpa bermaksud mengingatkan dan mencari popularitas dan keuntungan sendiri”. Benih-benih yang kita tanam sekarang akan sama dengan hasil yang kita peroleh nantinya, menanam biji mangga tentunya akan menghasilkan pohon mangga bukan? Tinggal bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan tersebut diarahkan menjadi lebih baik. Semoga kualitas dan hasil pendidikan Indonesia semakin membanggakan. Semoga….

Selengkapnya...

Derita Guru Menjelang UN



Guru yang berhasil adalah guru yang dapat membawa siswanya lulus sekolah dengan nilai Ujian Nasional yang memuaskan. Guru tersebut layak mendapat pujian dan penghargaan. Guru yang para siswanya tidak lulus, meskipun para siswanya berbudi baik dan kreatif, sebaiknya dievaluasi karena membuat malu nama sekolah dan membuat siswa baru tidak yang mau mendaftar ke sekolah tersebut. Setujukah kita?

Setuju atau tidak setuju, pada kenyataanya dunia pendidikan dasar dan menengah kita saat ini membawa guru pada pemikiran seperti itu. Meskipun tidak sampai ditegur, dievaluasi, atau dipecat, tetapi di dalam hati para guru, kegagalan siswa dalam Ujian Nasional juga telah menjadi ketakutan baru.
Mulai dari kurikulum yang berubah seiring dengan perubahan kabinet, tuntutan kuliah S1, membuat silabus, mencari materi, hingga memastikan para siswanya lulus Ujian Nasional, sempurnalah “penderitaan” para guru. Seolah-olah, ujung dari jerih payah mereka dinilai “hanya” dari lulus tidaknya siswa mereka berdasarkan Ujian Nasional. Maka, tidaklah naif jika banyak guru berkesimpulan bahwa segala daya upaya, jerih lelah, lembur membuat silabus, dan sebagainya itu adalah untuk sebuah Ujian Nasional.

Bayangkan seorang guru yang dengan penuh dedikasi mengajarkan anak didiknya menuangkan gagasan dan opini mereka dalam esei yang kritis dan kreatif. Guru ini memeriksa setiap esei siswanya hingga larut malam, memberikan komentar dan saran perbaikan. Hasilnya, siswa tersebut mampu membuat opini dengan bahasa yang bagus dan di pelajaran lain mereka mampu menganalisis permasalahan dengan lebih baik. Guru memberikan nilai sembilan dari skala sepuluh kepada siswa yang bersangkutan. Nilai itu adalah akumulasi hasil dari kegiatan belajar mengajar di kelas, meliputi aktivitas diskusi, mengutarakan pendapat di kelas, pekerjaan rumah, nilai latihan, ulangan, dan ulangan umum.

Akan tetapi, di akhir tahun sang siswa gagal dalam ujian nasional. Pikiran seperti apakah yang muncul di benak sang guru?
Mungkin dia mengira bahwa dia telah salah menilai siswanya. Lihat, betapa salah dia memberi skor sembilan dari skala sepuluh, padahal pada kenyataannya siswa didiknya mendapat nilai kurang dari lima di Ujian Nasional.

Apa yang akan dilakukan sang guru di tahun berikutnya adalah hal yang menjadi kegelisahan kita semua. Bagaimana dia akan menilai si anak tersebut di tahun berikutnya ketika guru bertemu muka dengan siswa di kelas yang sama. Masihkah dedikasi tahun lalu itu dipertahankan, atau dia akan berubah menjadi guru yang semata-mata “mengejar” target: yang penting lulus Ujian Nasional?

Mempertanyakan Peran Guru
Kita masih kita ingat Ki Hajar Dewantara sebagai guru yang patut ditiru. Ia mengajarkan kepada siswanya bukan hanya ilmu pengetahuan, tetapi juga karakter. Siswa dibawa pada pengalaman belajar menjadi manusia yang utuh, yaitu ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Pada titik tersebut, dua elemen penting dalam diri manusia disatukan, yaitu rasio dan hati nurani.

Pendidik bukan hanya menransfer ilmu tetapi juga memimpin siswa dengan memberikan contoh atau ing ngarsa sung tuladha. Guru harus berani menjadi role model karena para siswa, yang adalah para remaja itu, selalu membutuhkan sosok idola. Bukan hanya itu, pendidik juga mendampingi para siswa ketika mereka melakukan kesalahan atau membantu mereka membangun kreativitas atau daya cipta, Dewantara menyebutnya sebagai ing madya mangun karsa. Dan supaya kelak siswa dapat menghadapi kehidupan nyata, para guru mengawasinya dari belakang dan menegur selagi sempat, memberikan semangat agar mereka berjuang, itulah tut wuri handayani.

Sayangnya, filosofi pendidikan seperti itu tidak terlalu tercermin dalam pendidikan kita sekarang. Siapakah guru profesional itu, seperti apakah wujud peran guru di masa mendatang, apakah seperti Dewantara?
Inilah derita batin para guru Indonesia, di satu sisi digembar-gemborkan sebagai pahlawan yang mendidik anak orang lain, di sisi lain disibukkan dengan mencari penghasilan tambahan untuk menyambung hidup anaknya sendiri. Di satu sisi direpotkan berbagai aturan dan administrasi, di sisi lain dituntut untuk mencerdaskan siswanya lahir batin. Sementara itu, peran guru memberi penilaian kepada siswa yang dikenalnya selama beberapa tahun, tidak mampu berbuat banyak untuk menentukan lulus tidaknya siswanya itu.

Jika Ujian Nasional toh akhirnya datang juga, guru hanya bisa mengelus dada dan berharap bahwa anak didiknya lulus. Kita berharap, pemerintah memperhitungkan peran guru ini dalam sistem penilaian akhir para siswa. Jadi, sebagai pendidik, guru mengajar di kelas untuk memerdekakan siswa dari kebodohan dan membentuk karakter mereka menjadi matang untuk berperan di tengah masyarakat, bukan cuma mengejar target nilai Ujian Nasional semata-mata. Tapi, itu mungkin masih menjadi utopia untuk mengobati hati guru yang menderita.
Selengkapnya...

Pemilu??

Huah..
kayaknya temen2 qw yang udh ikut pemilu merasakan sebuah kegembiraan
sebuah kegembiraan karena akhirnya mereka dianggap telah menjadi orang yang dewasa
meskipun umumnya sebenarnya mereka masih belum mengerti
belum mengerti apa konsekuensi dari pilihan mereka
apakah yang mereka pilih memang dapat menjalankan apa yang rakyat inginkan
"yang penting ikut nyontreng, daripada kam masih anak kecil belum boleh nyontreng"
sebuah pernyataan yang terkadang mereka katakan
sebagai sebuah ekspresi euforia pengakuan eksistensi mereka oleh pemerintah

Namun...
bisakah pemilu membawa sebuah perubahan?
perubahan menuju keadaan yang lebih baik?
benarkah keadaan kita hanya tergantung pada siapa pemimpinnya?
Bagaimana mungkin rakyat bisa sejahtera apabila kekayaan alam kita dijual kepada asing?
Bagaimana mungkin pemerintah berharap sdm yang baik apabila UU BHP terus diterapkan?
Bagaimana mungkin keuangan negara bisa stabil bila negara memelihara pasar efek yang penuh riba?
Bagaimana mungkin kita mengharapkan berkah dari Allah SWT apabila kita mengindahkan hukum yang telah Dia turunkan?

Sesungguhnya perubahan tidak akan pernah terjadi selama kita masih memakai sistem kapitalis seperti sekarang...
Solusinya???
Tentu Syariah Islam
Jelas hanya syariah Islam lah yang bisa membawa perubahan..
Mengubah sistem kufur
menjadi satu2nya sistem yang diridhoi Allah SWT
GO Syariah
GO Khilafah
Selengkapnya...