Search In Google

Sabtu, 18 April 2009

Wajah Lain Pendidikan Indonesia




T
entu kita masih ingat apa yang terjadi dengan Jepang setelah perang dunia kedua? Infrastruktur hancur dan perekonomian bobrok! Bom atom yang meluluhlantahkan Hirosima dan Nagasaki bukanlah sekedar bom yang menewaskan jutaan orang atau membuat lumpuh beberapa generasi, tetapi bom tersebut mampu menyadarkan puluhan juta umat manusia tentang bahaya kekerasan dan peperangan. Bagi bangsa Jepang, itulah awal kebangkitan mereka.

Semangat Bushido dan Harakiri bukan lagi semangat untuk rela berkorban demi negara dalam perang, tapi lebih kepada semangat untuk dapat mendidik generasi selanjutnya agar menjadi individu-individu yang handal dan cerdas. Percepatan pengembangan pendidikan yang terarah dan terencana membuat Jepang mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Bagaimana dengan negara ini? Anggaran pendidikan sebesar 20% dari jumlah APBN pun masih sangat sulit di implementasikan apalagi menambah persentasenya, terdengar hanya seperti mimpi disiang bolong. Padahal, sektor pendidikan merupakan salah satu hal terpenting yang membuat sebuah negara dapat berkembang ke arah yang lebih baik.

Memang, terdapat beberapa kemajuan mengenai perkembangan pendidikan di Indonesia, seperti di bebaskannya uang pendidikan dalam tingkatan wajar 9 tahun yang mampu meningkatkan kualitas manusia Indonesia, walaupun dalam impelmentasinya terjadi banyak penyimpangan. Jika kita amati lebih lanjut, perkembangan tersebut belum secara signifikan memajukan pola pikir manusia-manusia Indonesia. Sekolah yang di plot sebagai wadah untuk mendidik dan mengarahkan manusia-manusia Indonesia untuk lebih berfikir maju dan positif ternyata belum mampu berjalan sesuai rencana.

Apa yang terjadi dengan sekolah-sekolah di Indonesia? Apakah sekolah memang digunakan untuk mencerdaskan manusia-manusia Indonesia atau hanya sebagai perusahan jenis baru yang digunakan untuk meraup banyak keuntungan? Pernahkan anda membayangkan bagaimana seorang Ivan Illich “Professor dan Rohaniawan yang mendirikan centre for intercultural documentation” menulis sebuah buku “Bebaskan Masyarakat dari belenggu sekolah”? Menantang kita berfikir lebih mendalam mengenai apa itu sekolah! Terkesan untuk setuju dengan salah satu pendapatnya, “Sekolah adalah agama baru dunia dan sekolah merupakan pasar kerja yang berkembang paling pesat di dunia”, hampir seluruh orang tua mengamini bahwa sekolah adalah tempat paling tepat untuk mendidik anak-anak mereka. Sedangkan bagi para pemodal, hal ini merupakan sebuah lahan subur untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mengindahkan kualitas dan standar sebuah sekolah. Gambaran mengenai kualitas sekolah-sekolah di Indonesia belumlah sebaik yang di harapkan, hal ini sangat berhubungan dengan permasalahan besar yang dihadapi bangsa ini.

Belum hilang dari ingatan kita masalah baru yang muncul dalam dunia pendidikan kita, pro dan kontra standar kelulusan bagi siswa SMU dan sederajat!. Generasi penerus yang nantinya akan menjadi tumpuan bangsa ini sudah dijadikan komoditas politik oleh para manusia yang menanggap dirinya “Hero atau bahkan Idealis”. Sehingga bukannya solusi yang didapat, malah masalah baru kian terbuka dan muncul kepermukaan akibat pemberlakuan standar kelulusan. Memang ditemukan bahwa beberapa siswa yang dianggap berprestasi di kelas tidak lulus dalam ujian nasional dan sayangnya, hal itu dijadikan suatu pembenaran bahwa standar yang ditetapkan oleh pemerintah tidaklah sesuai dan bagus. Sebagian orang menilai, belajar adalah serangkaian proses sehingga tidak bisa dinilai dalam waktu beberapa jam. Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah kita tidak butuh standar untuk menilai sebuah proses? Di sisi lain pemberlakuan standar kelulusan “4,26” yang dianggap tinggi “padahal jika berkaca dengan negera lain, khususnya di Asia Tenggara, standar tersebut sangatlah kecil” secara signifikan mampu menaikan tingkat rata-rata kelulusan.

Bahkan, disisi lain standar ini dijadikan komoditas cari muka bagi para pejabat kota atau kabupaten!! Ironis memang, dunia pendidikan yang seharusnya tempat belajar yang sesungguhnya, tempat pembentukan karakter manusia-manusia masa depan yang jujur, cerdas kreatif dan inovatif harus dinodai oleh politik busuk orang-orang yang tak bertanggung jawab. Korbannya adalah sekumpulan orang yang di sebut para pembelajar! Mentalitas dan emosi mereka yang kebanyakan masih labil terpaksa harus di goyangkan dan dipermainkan, akibatnya Suicide dianggap jalan terbaik. Dengan kata lain, sebaik apapun kebijakan yang diberlakukan dan diterapkan dinegeri ini tak kan pernah bisa terealisasi jika semuanya selalu dipolitisi! Kapankah kita bisa bersepakat bahwa yang kita lakukan hanya untuk kemajuan Pendidikan Indonesia dan kemaslahatan bersama.

Belum usai masalah diatas, kejadian yang memalukan kembali terjadi. Mahasiswa yang bisa disebut mahanya para siswapun sulit untuk diharapkan mampu menjadi panutan bagi masyarakat. Aksi-aksi dan tindakan progresif revolusioner yang selama ini dibangun oleh para mahasiswa seakan hilang. Hal tersebut berbanding lurus dengan penilaian masyarakat tentang Mahasiswa yang semakin memburuk.

Lihatlah apa yang terjadi hari ini, perang antar teman kembali terjadi “mahasiswa versus mahasiswa”, antara mahasiswa yang pro rektorat dan kontra rektorat di salah satu universitas yang nantinya menghasilkan para guru. Miris hati kita, jika melihat kelakuan mahasiswa seperti itu!! Apa yang bisa diharapkan dengan generasi yang lebih mengutamakan kekerasan? TIDAK ADA!! Bayangkan jika mahasiswa-mahasiswa tersebut menjadi guru dan mengajar generasi penerus bangsa ini, bagaimanakah hasilnya? Apakah revolusi selalu membutuhkan darah segar agar dapat terealisasi? Kejadian di salah satu kampus di negeri ini sebenarnya bisa diredam jika kedua belah pihak mampu menahan ego, tenang dan bersikap lebih bijaksana. Duduk bersama dengan kepala dingin dan pikiran yang cerdas guna menemukan solusi yang dapat diterima kedua belah pihak adalah jawabannya. Tanpa kekerasan dan tanpa darah. Sudah cukup bangsa ini menderita dengan darah-darah saudara kita yang terkena musibah bencana alam. Sudah cukup bangsa ini menderita dengan konflik bersenjata di beberapa daerah, yang insya Allah akan segera berakhir.

Entah akan jadi seperti apa bangsa ini nantinya, jika keadaan ini terus berlanjut. Ibarat sebuah bola yang berputar, semuanya akan terus berulang dan merasakan hal yang sama; semuanya tak kan berakhir jika tak ada usaha untuk keluar dari lingkaran, semuanya tak kan berakhir jika tak ada kearifan untuk selalu saling membantu dan mengisi kekurangan, semuanya tak kan berakhir jika hanya mengedepankan kekerasan dan emosi, semuanya tak kan berakhir jika selalu di politisi “mencari kesalahan orang tanpa bermaksud mengingatkan dan mencari popularitas dan keuntungan sendiri”. Benih-benih yang kita tanam sekarang akan sama dengan hasil yang kita peroleh nantinya, menanam biji mangga tentunya akan menghasilkan pohon mangga bukan? Tinggal bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan tersebut diarahkan menjadi lebih baik. Semoga kualitas dan hasil pendidikan Indonesia semakin membanggakan. Semoga….

0 komentar:

Posting Komentar